Jakarta – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pemerintah mencabut SKB 2 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini merupakan buntut serangkaian peristiwa persekusi dan penolakan pendirian rumah ibadah di sejumlah daerah.
“Sejak 2019, kita di PSI sudah meminta SKB 2 Menteri untuk dicabut, karena terbukti mencederai hak-hak kelompok keagamaan kecil untuk mendirikan rumah ibadah,” kata Wasekjen DPP PSI Bidang Kebhinnekaan dan Umat Beragama, Mary Silvita, dalam diskusi “SKB 2 Menteri Tentang Pembangunan Rumah Ibadah Masih Relevan?” yang digelar DPP PSI, Selasa 14 Februari 2023.
Mary menambahkan, SKB 2 Menteri ini pun sudah melenceng jauh dari tujuan awal.
Mulanya, lanjut Mary, surat keputusan bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ini dimaksudkan memberi otoritas lebih kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk menertibkan rumah ibadah liar, mengawasi praktik penarikan dana yang mengatasnamakan pendirian rumah ibadah, mencegah penodaan agama dan menangkal berkembangnya aliran sesat.
Tapi kenyataannya, SKB 2 Menteri justru mempersulit kelompok keagamaan kecil (agama minoritas) untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah.
“Pada praktiknya menyulitkan kelompok agama kecil untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Dan terbukti hingga hari ini banyak persekusi rumah ibadah, bentuknya bisa pengrusakan, penyegelan dan gangguan aktivitas ibadah dengan bertamengkan SKB 2 Menteri. Ini kan keliru, SKB 2 Menteri ini mestinya bisa melindungi semua warga negara dalam beribadah,” imbuh Mary.
Masalah lain, sambungnya, terdapat syarat diskriminatif, yaitu pengumpulan paling sedikit 90 KTP jemaat dan 60 KTP masyarakat setempat sebagai bentuk dukungan pendirian rumah ibadah yang sulit terpenuhi kelompok agama kecil.
“Kita juga melihat ada syarat administratif yang menjadi kendala kelompok keagamaan kecil untuk mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah, yaitu harus ada 60 KTP warga sekitar lokasi yang menyetujui pendirian rumah ibadah dan 90 KTP jamaah yang akan beribadah di rumah ibadah itu. Hal ini terkadang sulit dipenuh kelompok keagamaan yang sangat kecil,” ucap peneliti studi Islam dan masyarakat itu.
Data longitudinal SETARA Institute menunjukkan, dari tahun 2007 – 2022, terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.
L
Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas.
Direktur Center for Indonesian Cultural Initiatives itu juga menyoroti posisi Kepala Daerah sebagai salah satu unsur dalam FKUB. Menurutnya, dalam banyak kasus, Kepala Daerah justru kerap menjadikan izin pendirian rumah ibadah sebagai materi politik untuk menarik dukungan kelompok mayoritas.
“Sering kali kejadian di daerah-daerah, justru Kepala Daerah menggunakan sentimen terhadap kelompok keagamaan kecil sebagai alat mendulang suara. Jadi mempersulit orang mendirikan rumah ibadah itu untuk memperoleh suara mayoritas,” paparnya.
Maka, ia pun mengingatkan pidato Presiden Jokowi di Sentul Bogor beberapa waktu lalu, yang mewanti-wanti Kepala Daerah jangan mempersulit izin pendirian rumah ibadah.
“Pak Jokowi mengingatkan para Kepada Daerah untuk tidak lagi mempersulit pembangunan rumah ibadah, harusnya dipermudah, karena memang ujung tombak perizinan itu di Kepala Daerah,” tandas Mary.