Medan – Sikap Partai Solidaritas Indonesia Sumatera Utara sejak awal hadirnya Proyek Multiyears (MYC) pembangunan jalan dan jembatan pemerintah provinsi Sumatera Utara sebesar Rp2, 7 triliun adalah kritis konstruktif. Hal itu ditandai dengan gugatan PTUN yang dilakukan oleh Nezar Djoeli dan Delia Ulpa atas terbitnya SK Gubernur tentang proyek MYC tersebut, yang sampai hari ini terus ramai menjadi perbincangan publik.
Di tempat terpisah, saat berbicara kepada wartawan di Medan, Minggu, 15/1/2023. Wakil ketua DPW PSI Sumatera Utara, Muhri Fauzi Hafiz, mengatakan bahwa proyek Multiyears pembangunan jalan dan jembatan pemerintah provinsi Sumatera Utara itu sesungguhnya tidak tertib administrasi, banyak aturan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku diduganya dilanggar oleh Gubernur Edy Rahmayadi.
“Kami sudah melakukan kajian, perlu untuk diketahui oleh masyarakat, akibat tidak tertibnya administrasi perencanaan dan pelaksanaan proyek Multiyears tersebut, bisa berdampak buruk pada penggunaan APBD, yang habis, proyek tidak selesai, dikorupsi atau terbengkalai.Maka harus dikawal sejak awal, PSI recok untuk hal ini. Kembali pada proyek Multiyears 2,7 triliun itu, sekurang-kurangnya kami menemukan ada 2 UU yang dilanggar, pertama, UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah. Kedua, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.” Katanya.
Ketentuan Asas Umum pemerintahan yang baik (AUPB) tidak terpenuhi pada perencanaan dan penetapan proyek Multiyears pemerintah provinsi Sumatera Utara tersebut. Yaitu, menggunakan APBD 2024 yang sudah melebihi periode masa jabatan.
Bahkan dalam aturan lainnya Seperti, Permendagri nomor 77/2020 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah, dengan tegas menyebutkan bahwa jangka waktu pelaksanaan tahun jamak tidak melampaui masa jabatan kepala daerah.
Belum lagi soal Perda tentang proyek Multiyears yang terpisah dari perda APBD yang seharusnya itu lebih dahulu disahkan sehingga berikutnya akan menguatkan Perda tentang APBD.
Tujuan ada Perda tentang proyek Multiyears itu terpisah sangat jelas, guna kepastian hukum dan kepastian penggunaan APBD pada tahun berikutnya. Jika hanya dilakukan dengan nota kesepahaman bersama antara gubernur dan pimpinan DPRD Provinsi , tentu hal itu tidak sekuat Perda kedudukan hukumnya.
Jika pada pembahasan APBD tahun berikutnya, kesepakatan Gubernur dan Pimpinan DPRD itu tidak bisa mengintervensi pembahasan APBD yang kedudukannya lebih tinggi (Perda). Nah, tentu hal itu fakta yang menguatkan proyek Multiyears tersebut tidak tertib administrasi.
“Sudah selayaknya APH, Polisi, Jaksa bahkan KPK RI mulai menyelidiki proyek Multiyears 2, 7 triliun ini. Pintu masuknya jelas, tidak tertib administrasi itu, sebab jika administrasi perencanaan dan pengesahan tidak tertib, akan membuat pelaksanaan proyek rawan dikorupsi,” kata Muhri mengakhiri.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Bappeda Dr. Hasmirizal Lubis dan Kepala BPKAD Dr. Ismael Sinaga saat ditanya apakah ada perda tahun jamak proyek Rp 2,7 triliun, keduanya kompak menjawab melalui pesan whatsapp menyebutkan. Perda tentang APBD sudah mencantumkan Penerimaan, Belanja, dan Pembiyaan selama satu tahun anggaran, dan di dalamnya diuraikan jenis belanja, program, kegiatan, objek, dan rincian objek belanja Karena itu untuk kegiatan tidak perlu ada lagi perda secara khusus atau tersendiri, cukup perda APBD itu sendiri.
Sedangkan untuk persetujuan bersama antara gub dan DPRD, terhadap kegiatan yang penganggarannya tahun jamak nama dokumennya nota persetujuan, yang ilustrasi dokumen itu ada dalam Permendagri 77 tahun 2020, dinyatakan di sana ilustrasi dokumen berupa contoh yang menggambarkan kebutuhan informasi yang bersifat dinamis dalam setiap tahapan pengelolaan keuangan daerah.
Penandatangan dokumen Persetujuan bersama dan dokumen KUA PPAS ini dilakukan bersamaan. Teknis penandatanganan dinamis, ada yg serta merta dan ada yang sirkuler.